Salah satu peninggalan sejarah di Kediri yang terkenal adalah
Patilasan atau tempat Raja
Jayabaya moksa. Sedangkan yang paling
tersohor dari Jayabaya adalah sebuah ramalan atau orang sering menyebut
Jangka Jayabaya.
Salah satu ramalan yang tersohor adalah
NOTONEGORO yaitu sebuah ramalan tentang nama seseorang yang akan
memerintah negeri ini. Buah dari akibat ramalan ini adalah nama TO dan
NO di akhir nama orang jawa.
Para orangtua (lebih ke pihak bapak) memberi
nama anaknya dengan akhiran TO atau NO seperti Suprapto,Supeno,
Tarno,Parno dan lain-lain, tidak lain tujuannya adalah supaya anak
tersebut menjadi raja atau presiden
.
Dalam ramalan NOTONEGORO di yakini oleh
sebagian besar masyarakat jawa sudah terbukti 2 orang yakni Soekarno dan
Soeharto yang memiliki karakteristik dan khas masing-masing. Apabila
nama ini di penggal akhirannya sudah terbentuk kata NOTO atau (me)NATA.
Pada era ‘90-an saat Soeharto masih berkuasa,
ramalan presiden ke tiga sudah terlihat sangat transparan. Seolah
memang sudah di persiapkan, semua orang sudah meyakini bahwa orang ke
tiga adalah sang wakil sendiri, yaitu Tri Sutrisno. Begitu melihat nama,
penafsiran orang-orang menunjuk angka tiga (try) dan NO (Ramalan dalam NOTONEGORO).
Namun kenyataan berbicara lain. Sang Presiden tidak mau memberikan
kekuasaan justru menendang dan menggandeng B,j Habibie sebagai wakil.
Penafsiran orang-orang tidaklah sepenuhnya
meleset, jika menggunakan ilmu asal gathuk yang penting cocok. Presiden
ke tiga adalah B,j Habibie yang merupakan wakilnya.Walau tidak
berakhiran TO atau NO penafsiran ini terus berlangsung dengan mengatakan
bahwa NE (NOTONEGORO)
menyatakan presiden bukan dari orang jawa. Disini orang-orang
berpendapat bahwa nama orang jawa itu identik dengan akhiran huruf O.
Berlanjutnya penafsiran ini hingga presiden
ke empat dan ke lima. Untuk Gus Dur dan Megawati ini tidak lagi
mengangkat nama atau asal suku seseorang, melainkan dari kejadian yaitu
GORO yang artinya gara(-gara) atau Sengketa. Sedangkan untuk presiden ke
enam yaitu Susilo Bambang Yudhoyono dengan nama berakhiran NO sehingga
penafsirannya berputar kembali dari NO kemudian TO dan Ne, maka dalam
penafsiran ini presiden selanjutnya (setelah SBY) adalah seseorang
berakhiran TO.
Kelemahan penafsiran ini tidak adanya
konsisten dari nama kemudian suku dan menjadi suatu peistiwa. Sehingga
lebih kepada asal gathuk (cocok) atau mencocok-cocokkan dengan ramalan.
Penafsiran Versi Kedua,
ini dari kata NOTONOGORO. Kata Ne tidak ada yang ada NO. Jika melihat
pada penafsiran ini maka ke tiga presiden seperti BJ. Habibie, Gus Dur,
dan Megawati tidaklah masuk hitungan atau tidak di akui sebagai raja.
Apa karena ini Megawati masih berambisi menjadi presiden, karena belum
merasa menjadi presiden yang sesungguhnya.
Dalam ramalan ini berawal dari Soekarno,
Soeharto dan Susilo Bambang Yudhoyono. Sedangkan pemimpin ke empat
adalah seseorang yang berawalan GO yang tentu bukanlah sosok Anggodo
atau Anggoro, bisa hancur mina negeri ini.
Kelemahan penafsiran ini adalah tidak di
akuinya ke tiga presiden dan tetap bersikukuh ramalanlah yang benar
kendati negeri ini telah di pimpin 3 orang yang berbeda ang tidak ada
dalam ramalan..
Penafsiran versi ke tiga
adalah berdasarkan sosok tokoh yang terkenal. Semisal RO ini
ditafsirlkan Amien ROis. ada juga GO di tafsirkan GOs Dur. MeGOwati kata
GO ada dalam penafsiran Mega.
Kelemahan penafsiran ini adalah
mencocok-cocokkan dengan ramalan dengan memaksa seseorang sesuai
ramalan, kalau bahasa kasarnya maksa walau terlihat jauh.
Dalam pemilihan 2014, ramalan ini sudah di
pastikan akan muncul ke permukaan kembali. Tim sukses pun akan secara
getol menggelontorkan sesuatu berbau mistik seperti ramalan ini untuk
calonnya. Terbukti di era PDIP menang 1999 salah satunya adalah sebuah
ramalan Ratu Adil, sedangkan di era Susilo Bambang Yudhoyono menang
dalam pemilihan presiden salah satunya adalah Ramalan akan Satrio
Piningit.
Lalu, bagaimana dengan anda di tahun 2014?